“Ya Muqollibal qulub, tsabbit qolbi ‘ala dinik”
“Wahai Dzat yang membolak balikkan hati, tetapkan hati
saya di atas agamaMu.”
Itu adalah salah satu doa yang dibaca oleh Rosul untuk meminta
diteguhkan dalam agama. Tuntunan akan adanya doa tersebut, tidak terlepas dari
sifat hati manusia yang mudah berubah. Hari ini senang, beberapa menit kemudian
sedih. Sekarang cinta, besok bisa saja berubah. Sekarang benci, besok berubah
sangat cinta. Kemarin merasa rendah diri, besok bisa menjadi sangat percaya
diri. Begitulah, hati manusia memang tidak stabil.
Ngomong-ngomong tentang perasaan rendah diri, pernahkah Anda merasa
rendah diri? Jika iya, seberapa sering? Apakah sesering saya ketika masa awal menjadi
guru? Apakah sesering rendah diri saya ketika merasa rekan kerja saya jauh
lebih hebat? Atau apakah sesering rendah diri saya karena merasa tidak memiliki
cukup pengalaman untuk berdiri di depan kelas? Apakah sesering saya ketika merasa
bekal yang saya miliki sangat tidak cukup untuk menemani murid SMA meraih
cita-citanya? Iya, di awal pengabdian saya menjadi guru SMA Islam Al Azhar 14,
saya sering kali merasa rendah diri. Sering. Bahkan sangat sering.
Salah satu momentum rendah diri pada awal saya mengajar
adalah ketika bertemu dengan murid
yang secara fisik jauh lebih berwibawa daripada saya. Melihat murid tersebut
berjalan di lorong sekolah, sifat rendah diri memunculkan sebuah kekhawatiran. Khawatir
jika saya kesusahan bekerjasama dengan murid tersebut. “Jangan-jangan, di
pembelajaran yang akan kujalani dengannya, murid tersebut akan menjadi murid
yang trouble maker?” Tanya saya dalam
hati. Ah, ini adalah sebuah wujud kekhawatiran akibat dari rendah diri yang
seharusnya tidak perlu.
Berhati-hatilah dengan apa yang kita fikirkan, karena bisa saja itu menjadi
sebuah kenyataan.
Setelah pelaksanaan MOM (Masa Orientasi Murid) berlakulah jam pelajaran
normal. Murid ini mulai berulah. Teman-temannya sudah di dalam kelas dan siap mengikuti pembelajaran tapi dia belum juga masuk ke dalam kelas. Saya tunggu beberapa menit, namun murid ini tidak kunjung terlihat.
Akhirnya saya putuskan untuk memulai pembelajaran meskipun tanpa
kehadirannya. Beberapa menit kemudian, terdengar suara salam dan langkah kaki. Ah
benar saja, dia telat lebih dari lima belas menit. Dia mengaku baru selesai
dari kamar mandi. Saat itu saya bingung harus berbuat apa. Mengijinkan begitu
saja dia masuk dan mengikuti pembelajaran bersama teman-teman yang lain, atau
memberikan dia konsekuensi atas keterlambatannya kemudian mengijinkan masuk ke
dalam kelas, atau tidak mengijinkan sama sekali untuk mengikuti pembelajaran
saya? Bingung, khawatir, dan rendah diri bercampur menjadi satu. Hingga
akhirnya, saya meminta dia untuk membaca istigfar seratus kali dengan suara
keras di depan kelas. Dia pun melakukannya. Meski dengan terpaksa.
Saya mencoba mengabaikan kepekaan rasa terhadapnya. Saya abaikan pemahaman saya bahwa dia keberatan untuk beristigfar. Saya menutup rasa rendah diri saya dengan sifat sok tegas.
Saya mencoba mengabaikan kepekaan rasa terhadapnya. Saya abaikan pemahaman saya bahwa dia keberatan untuk beristigfar. Saya menutup rasa rendah diri saya dengan sifat sok tegas.
Cerita murid yang membaca istigfar bisa dibaca di buku
kumpulan cerpen karya murid angkatan pertama. Di kumpulan cerpen tersebut, dia menuliskan betapa jengkelnya
dia terhadap saya kala itu. Meskipun kemudian, kita sama-sama belajar menemukan
pola kerjasama yang baik. Ketika saya mulai bisa menguasai rasa rendah diri,
saya merasa dia bukanlah murid yang susah diajak kerja sama. Bahkan sebaliknya,
dia adalah murid yang mudah untuk diajak kerja sama.
Setelah rasa rendah diri berangsur-angsur berubah menjadi rasa kepercayaan, rasa rendah diri itu menyisakan
sebuah perasaan “peka” terhadap orang-orang yang sedang rendah diri. Kali ini,
rasa rendah diri yang saya rasakan adalah rasa rendah diri yang terjadi pada
murid saya yang lain (berbeda dengan murid yang saya ceritakan di atas).
Murid saya ini sebenarnya memiliki banyak potensi. Dia adalah murid yang
baik, humble, murah senyum, ringan tangan,
dan secara pemikiran juga sudah mengarah kepada pemikiran yang cukup dewasa. Sampai
sekarang, ketika saya bertemu dengan anak ini, terpancar ykebahagiaan ang membuat orang lain ikut merasakan kebahagiaan itu. Sayangnya, dua
tahun yang lalu, ketika dia menyalonkan diri sebagai ketua osis SMA Islam Al
Azhar 14, dia belum benar-benar menyadari bahwa dia memiliki banyak potensi
yang membuat dia berharga. Hal itu menyebabkan pertanyaan-pertanyaan yang
diajukan dari panelis pada kegiatan kampanye dialogis calon ketua osis, dijawab
dengan penuh keraguan dan kerendah dirian. Padahal menurutku, jawaban dialah
jawaban yang paling bagus diantara calon yang lain. Akan tetapi, karena dia
menjawab dengan penuh keraguan dan kerendah dirian, menjadikan jawabannya terlihat biasa-biasa saja. Bagaimana orang lain bisa
menjadi tertarik dan percaya pada dirinya? Percayai diri kita sendiri terlebih
dahulu sebelum meminta orang lain percaya terhadap kita. Benar kan?
Setelah saya belajar mengendalikan rasa rendah diri dan berangsur-angsur
muncul rasa percaya diri, begitu juga murid ini. Dia terlihat mampu belajar
bagaimana menempatkan rasa percaya diri dengan tepat. Semoga penempatan rasa
kepercayaan diri itu tidak berlebihan atau bahkan melebihi batas. Karena saya melihat,
saat acara akhirussanah, murid ini sudah bersiap merapikan diri ketika pembawa
acara akan membacakan nominasi murid yang mendapatkan predikat lulusan terbaik di
bidang non akademik jurusan IPS. Sebelum dia tahu bahwa dialah yang mendapatkan penghargaan tersebut,
dia sudah bersiap maju ke atas panggung. Merapikan baju dan mengambil posisi bersiap untuk maju. Untunglah,
memang dia yang mendapatkan nominasi tersebut. Terbayang bagaimana jika
ternyata bukan dia? Senyumin aja. Hehe.
Begitulah cerita kali ini tentang dua murid yang memberikan pelajaran
kepada saya tentang mengelola rendah diri. Mereka ini adalah murid yang tersenyum
ketika saya bilang “wah.. ada gempa… ada gempaaaa…”.
Mereka ini adalah double duo yang suatu saat saya harap dapat memanggil dengan sebutan double single. :D (saya wagu).
Mereka ini adalah double duo yang suatu saat saya harap dapat memanggil dengan sebutan double single. :D (saya wagu).
Nah, sudah tahu siapa murid-murid yang saya maksud kan?
Jika masih belum tahu siapa mereka, silakan klik berikut.